Cerita rakyat Riau yang kakak ceritakan malam hari ini adalah Dongeng Pendek Si Lancang yang sudah diceritakan rakyat Riau secara turun temurun. Legenda pendek si Lancang menjadi asal muasal beberapa nama daerah di sekita Sungai Kampar, Kepulauan Riau. Dongeng Pendek Si Lancang memiliki pesan moral yang baik, agar adik-adik selalu menghormati dan menyayangi orang tua. Apakah adik-adik penasaran dengan cerita rakyat pendek dari Riau ini? Yuk kita ikuti kisahnya bersama-sama. Dahulu kala di sebuah gubuk yang reot di negeri Kampar, Kepulauan Riau tinggalah seorang janda miskin dan seorang anak laki-lakinya yang bernama Si Lancang. Hidup mereka sangat miskin. Emak Si Lancang bekerja menggarap ladang orang lain sedangkan Si Lancang menggembalakan ternak tetangganya. Kemiskinan yang mereka alami terus berlanjut hingga bertahun-tahun lamanya, hingga pada suatu ketika Si Lancang merasa jenuh dan bosan hidup miskin, ia memutuskan untuk pergi merantau ke negeri orang, lalu Si Lancang meminta izin kepada Emaknya, “Mak, sudah bertahun-tahun kita hidup miskin. Aku ingin bekerja dan mengumpulkan uang,” ucap Si Lancang pada Emaknya, “Izinkan aku merantau ke negeri orang, Mak.” Dongeng Pendek Si Lancang Cerita Rakyat Daerah Riau Emaknya Si Lancang terkejut mendengar permintaan anaknya, “Nak, kalau kau pergi. Emak tinggal dengan siapa? Tetaplah di sini” ujar Emaknya keberatan. Si Lancang menghela napas,”Percayalah Mak, ini demi kebaikan kita, agar kita jadi orang kaya, aku mohon Mak, izinkanlah,” Si Lancang terus memohon. Akhirnya dengan berat hati Emaknya mengizinkan, “Baiklah, Emak izinkan, tapi jika kau sudah jadi orang kaya segeralah pulang ke sini. Jangan lupakan Emakmu” pesan Emaknya. “Benarkah Mak?” tanya Si Lancang meyakinkan, lalu Emaknya mengangguk. Si Lancang sangat gembira, ia meloncat-loncat dengan riang. Emak Si Lancang tampak sedih melihat anaknya akan pergi. Berjatuhan air matanya. Melihat hal itu, Si Lancang langsung mendekati dan memeluk Emaknya, “Emak, percayalah. Jika nanti aku sudah kaya, aku tidak akan melupakan Emak, jangan sedih Mak,” ucap Si Lancang sambil menghapus airmata Emaknya. Emaknya mengangguk-angguk berusaha tersenyum, “Nanti malam Emak akan membuatkan lumping dodok untuk bekalmu di jalan nanti, esok pagi kau boleh berangkat,” kata Emaknya seraya tersenyum. Keesokan harinya Si Lancang pun berangkat ke kota. Hari cepat berlalu, akhirnya selama bertahu-tahun Si Lancang merantau, ia menjadi seorang pedagang kaya raya, berpuluh-puluh kapal dan ribuan anak buahnya telah ia miliki, juga istri-istri yang cantik. Si Lancang lupa, sang Emak jauh di kampung halamannya selalu menunggunya. Emaknya semakin miskin. Sedangkan Si Lancang hidup bersenang-senang bersama istri-istri dan kekayaannya yang melimpah ruah. Pada suatu hari ia berencana mengajak istri-istrinya berlayar ke Andalas. Akhirnya pemberangkatan pun tiba, ia bersama istri-istrinya juga pengawal dan awak kapal telah bersiap. Sejak berangkat dari pelabuhan kota, seluruh penumpang kapal Si Lancang berpesta-pora, mereka menggelar kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak di atas kapal agar semakin tampak kemewahan dan kekayaan Si Lancang. Setelah beberapa hari berlayar, akhirnya kapal Si Lancang yang megah itu merapat di Sungai Kampar, yaitu kampung halamannya. Penduduk di sekitar Sungai Kampar yang melihat kemegahan kapal Si Lancang perlahan semakin berdatangan, mereka masih mengenali wajah Si Lancang yang beberapa tahun silam pergi merantau dari kampung ini, “Itu Si Lancang rupanya! Wah dia sudah menjadi orang kaya,” seru guru mengaji Si Lancang turut bahagia. Dongeng Pendek Si Lancang “Kapalnya sangat megah, ternyata ia masih ingat jalan pulang ke kampungnya!”seru yang lain yang tak lain adalah teman masa kecil Si Lancang. Lalu ia segera berlari menuju gubuk reot Emak Si Lancang untuk memberitahu kedatangan Si Lancang. “Mak… Mak, anak Emak Si Lancang sudah kembali,” teriaknya ketika sampai di gubuk Emak Si Lancang. Kala itu, Emak Si Lancang tengah terbaring karena sakit, ia langsung terbangun mendengar anaknya sudah kembali. Dia bergegas bangkit dan dengan pakaian yang sudah compang-camping, ia tertatih-tatih menuju pelabuhan Sungai Kampar. Ketika sampai di pelabuhan, ia terkejut melihat puluhan orang mengerubuti kapal megah Si Lancang. Emak Si Lancang berusaha sekuat tenaga mencoba naik ke geladak kapal, tapi tiba-tiba anak buah Si Lancang membentak, “Hei! Kaa wanita gila, jangan naik ke kapal ini. Pergi” usirnya. Emak Si Lancang terkejut lalu ia berkata, “Aku..aku adalah Emak Si Lancang, Aku ingin bertemu dengan anakku,” ucap Emak Si Lancang. Namun anak buah- anak buah Si Lancang tetap mengusirnya, terjadilah kegaduhan. Si Lancang didampingi oleh istri-istrinya menghampiri ke geladak kapal itu, “Ada apa ini?” Tanya Si Lancang yang merasa terganggu. Emak Si Lancang yang melihat anaknya Iangsun g berkata, “Lancang, ini Emakmu. Kau masih ingat kan?” seru Emaknya gembira. Si Lancang terkejut melihat Emaknya masih hidup, namun bukannya ia memeluk Emaknya, ia malah membentak kasar, ia malu pada istri-istrinya memiliki Emak yang miskin dan kucel, “Bohong! Kau bukan Emakku. Kau kotor dan jelek! Usir dia dari kapalku!” teriak Si Lancang pada anak-anak buahnya. Dongeng Pendek Si Lancang Dari Riau Emaknya terkejut mendengar kata-kata anaknya, belum sempat ia berkata, ia sudah didorong oleh anak buah Si Lancang sampai terjatuh, “Pergi!!!” teriak anak buah Si Lancang kasar. Hati Emak Si Lancang sangat hancur dan sakit, ia tak menyangka akan di perlakukan demikian oleh anaknya yang selama ini dinanti-nantikannya. Dengan perasaan terluka, Emaknya kembali pulang ke gubuknya sambil menangis. Sesampainya di gubuk, Emak Si Lancang langsung mengambil lesung dan nyiru pusaka, ia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiur sambil berdoa dengan khusyuknya, “Ya Tuhan, Si Lancang telah kulahirkan selama sembilan bulan lamanya, telah kubesarkan ia dengan ikhlas, kini ia telah berubah. Tunjukanlah kekuasaan-Mu Tuhan,” Iepas Emaknya berkata demikian, tiba-tiba datang angin topan berhembus amat kencang, sementara itu petir menggelegar menyambar kapal Si Lancang, lalu gelombang Sungai Kampar naik dan menghantam kapal Si Lancang sampai hancur berantakan, semua penumpang di atas kapal itu berteriak ketakutan dan semua penduduk berlarian menjauhi sungai. Terdengar sayup-sayup suara Si Lancang yang berteriak di tengah badai, “Emaaak…! Aku anakmu, Si Lancang telah pulang.. maafkan aku…!” Namun tetap saja Si Lancang dan istri-istrinya juga para penumpang kapal itu tenggelam. Barang-barang yang ada di kapal Si Lancang berhamburan, kain sutra yang dibawa si Lancang dalam kapalnya melayang-Iayang. Lalu kain itu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri, sebuah buah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk Emak Si Lancang di Rumbio, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Lalu sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan dengan Danau Si Lancang. Kemudian di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak, bila tiang bendera kapal Si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Konon, banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada Emaknya. Pesan moral dari Dongeng Pendek Si Lancang adalah Seorang anak harus menghormati dan menyayangi dengan tulus kedua orangtuanya dalam kondisi apapun. Baca dongeng pendek kami lainnya pada posting Kumpulan Cerita Hewan Fabel Pendek Terbaru dan Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Pendek Fabel
BukuCerita Rakyat, LANCANG KUNING Cerita Rakyat Riau Penulis: Nurana di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan. Beli Buku Cerita Rakyat, LANCANG KUNING Cerita Rakyat Riau Penulis: Nurana di kamibertiga. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Pekanbaru - Lancang Kuning berlayar malam. Haluan menuju ke lautan dalam. Kalau nahkoda kuranglah paham. Alamat kapal akan tenggelam. Lancang kuning menentang badai. Tali kemudi berpilit tiga. Pantun tersebut sangat populer di Riau, khususnya masyarakat Melayu. Filosofi dari baitnya mengisahkan bagaimana pemimpin nakhoda mengarungi lautan agar kapal lancang yang digambarkan sebagai pemerintahan tak karam. Menhub Ungkap Perintah Jokowi soal Angkutan Umum di Riau, Apa Itu? Mengenal Sosok Putri Ariani, Penyanyi Tunanetra 17 Tahun Asal Riau yang Hebohkan Dunia dengan Aksinya di America's Got Talent 2023 Kisruh Setoran Rp650 Juta Brimob Polda Riau, Polri Kalau Ada, Berhadapan dengan Hukum Hingga kini tak diketahui pencipta pantun itu. Namun, Lancang Kuning tetap abadi karena disematkan sebagai sebutan untuk Riau. Begitu mendengar kata Lancang Kuning orang tertuju ke daerah yang berada di timur Pulau Sumatra itu. Tak diketahui pasti sejak kapan Riau disebut sebagai negeri atau bumi Lancang Kuning. Tak disebut pula siapa orang pertama yang memberi gelar ke daerah yang dulunya ada kerajaan Melayu penguasa Selat Malaka ini. Mendiang budayawan Riau, Tenas Effendy, dalam sebuah tulisannya berjudul Lancang Kuning pernah menyinggung kenapa Riau diberi gelar dengan sebutan itu. Dia menyebut sebutan ini sebagai tanda kegemilangan Riau sebagai daerah. Menurut Tenas, Lancang berarti kapal besar yang biasa digunakan raja-raja mengarungi lautan. Kapal ini juga tanda komando armada perang di lautan yang dikendalikan laksamana ataupun raja. Sementara Kuning sendiri merupakan warna kebesaran dalam tradisi Melayu. Kuning selalu ditemukan dalam berbagai upacara, pakaian, riasan dan baju kebesaran petinggi adat, meski dipadu dengan warna lain. Lancang atau kapal sangat akrab dengan masyarakat rumpun Melayu. Dengan ragam kerajaannya, misalnya Lingga di Kepulauan Riau atau Siak serta Indragiri di Riau, rumpun Melayu membentang dari laut China hingga Selat Malaka. Lancang ini disebut sebagai pemersatu antar pulau-pulau dalam bentangan rumpun Melayu. Lancang juga mempermudah raja berpindah ke suatu daerah yang menjadi kekuasaannya. Dengan demikian, Lancang Kuning menandakan Riau sebagai kerajaan Melayu sangat mengusai maritim. Di sisi lain, Lancang Kuning juga menggambarkan kejelian pemimpin dalam memerintah daerah. Makanya dalam pantun itu ada kalimat "berlayar malam, kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam". Berlayar pada malam hari tentu saja berbeda dengan siang. Nahkoda pada siang hari berpedoman pada matahari sehingga semua orang bisa melakukannya. Berbeda dengan malam karena nakhoda harus paham arah angin dan membaca bintang. Tidak semua orang bisa membaca bintang. Makanya diperlukan nakhoda lihai untuk membawa kapal besar dalam sebuah lautan yang luas atau pemimpin bijaksana menjalankan pemerintah. Dengan demikian, pemimpin yang paham tentang seluk beluk daerah menjadi syarat mutlak bagi Riau. Berikutnya, sebuah kapal dalam berlayar pasti bertemu badai. Makanya ada kalimat "Lancang kuning menentang badai, tali kemudi berpilit tiga". Kalimat tersebut saling berkaitan. Di mana ada masalah, di situ pula ada cara seorang pemimpin menyelesaikan. Apakah dengan sesuka hati atau melibatkan unsur lain berpilit tiga. Dalam berbagai literatur, pilit tiga dalam Melayu terdiri dari tiga unsur, yaitu umara cerdik pandai atau bisa saja perdana menteri, tetua adat dan terakhir ulama atau orang paham agama. Karena Melayu sarat dengan nilai-nilai Islam, posisi ulama menempati posisi paling atas. Ketiga unsur itu menjadi syarat bagi raja dalam mengambil keputusan ketika menghadapi permasalahan. Pertimbangan ketiga unsur ini kemudian menjadi konstitusi. Menjadi aturan bagi raja dalam menjalankan pemerintahan agar tidak melenceng dan berakibat merugikan rakyat. Makanya dalam pantun yang kemudian digubah menjadi lagu itu, ditambahkan bait "selamatlah kapal menuju pantai, pelautlah pulang dengan gembira". batamposid- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Restu Gunawan meminta dukungan Pemprov Kepri melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) untuk menyukseskan pelayaran muhibah budaya dan festival jalur rempah yang akan sampai digelar September 2021 mendatang. BACA JUGA: Gunawan menjelaskan Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan